SAYA mau tanya tentang hukum memakai peci pada waktu shalat maupun di luar shalat. Apakah diwajibkan/disunnahkan memakai peci di dua keadaan tersebut Ustaz? Adakah hadisnya? Syukron Ustaz. Pengurus PP Al Irsyad Al Islamiyah Ustaz Farid Nu’man Hasan, menjelaskan bahwa berikut ini fatwa-fatwa para ulama tentang memakai penutup kepala ketika shalat. Tidak satu pun mengatakan wajib, dia sunnah, ada pula yang mengatakan adab. Imam Ibnul Mundzir dalam Al Ijma’ mengatakan bahwa memakai penutup kepala bagi umat Islam di luar shalat bukanlah kewajiban, kecuali Al Hasan Al Bashri yang berpendapat wajib. Al Ijma’, Kitabul Libas, No. 77 Fatwa Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah Beliau menulis dalam Fiqhus Sunnahnya روى ابن عساكر عن ابن عباس أن النبي صلى الله عليه وسلم كان ربما نزع قلنسوته فجعلها سترة بين يديه. وعند الحنفية أن ه لا بأس بصلاة الرجل حاسر الرأس، واستحبوا ذلك إذا كان للخشوع. ولم يرد دليل بأفضلية تغطية الرأس في الصلاة. “Diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dari Ibnu Abbas Radhiallahu Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah membuka penutup kepalanya seperti surban dan menjadikannya sebagai sutrah pembatas di hadapannya, dan beliau shalat sehingga tidak ada seorang pun yang lewat di depannya. Menurut Hanafiyah, tidak apa-apa shalatnya laki-laki dengan kepala terbuka, mereka menganjurkannya jika itu membawa kekhusyukan. “Tak ada dalil tentang keutamaan menutup kepala ketika shalat.” Fiqhus Sunnah, 1/128. Darul Kitab Al Arabi Baca Juga Seumpama Peci dan Sepatu Fatwa Lajnah Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta’ Mereka ditanya tentang imam yang kepalanya terbuka alias tidak mengenakan peci, bolehkah? Jawabnya الرأس ليس بعورة لا في الصلاة ولا في غيرها سواء كانوا بالغين أو غير بالغين ، لكن ستره بما يناسبه مما جرت به العادة ولا مخالفة فيه للشرع يعتبر من باب الزينة فيستحسن ستره في الصلاة عملاً بقوله تعالى {يا بني آدم خذوا زينتكم عند كل مسجد } . ويتأكد ذلك بالنسبة للإمام . “Kepala bukanlah aurat, baik saat shalat atau di luar shalat, sama saja baik dengan penutup atau tidak. Tetapi menutupnya dengan apa yang semestinya yang telah menjadi kebiasaan dan tidak bertentangan syara’, itu merupakan kategori pembahasan perhiasan. Maka, memperbagusnya dalam shalat merupakan pengamalan dari firman-Nya “Wahai Anak-anak Adam pakailah perhiasan kalian ketika memasuki setiap masjid.” Bagi imam hal ini lebih ditekankan lagi. Lihat Fatawa Islamiyah, Kitabus Shalah, 1/615. Disusun oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz Al Musnid. Syamilah Fatwa Syaikh Athiyah Shaqr Rahimahullah Beliau ditanya tentang orang yang shalat tanpa menutup kepala baik imam, makmum, atau shalat sendiri, bolehkah? تغطية الرأس فى الصلاة لم يرد فيها حديث صحيح يدعو إليها ، ولذلك ترك العرف تقديرها ، فإن كان من المتعارف عليه أن تكون تغطية الرأس من الآداب العامة كانت مندوبة فى الصلاة نزولا على حكم العرف فيما لم يرد فيه نص ، وإن كان العرف غير ذلك فلا حرج فى كشف الرأس “ما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن ” . وروى ابن عساكر عن ابن عباس رضى الله عنهما أن النبى صلى الله عليه وسلم كان ربما نزع قلنسوته فجعلها سترة بين يديه وهو يصلى حتى لا يمر أحد أمامه . والقلنسوة غطاء الرأس . وعند الأحناف لا بأس بصلاة الرجل حاسر الرأس أى مكشوفا ، واستحبوا ذلك إذا كان الكشف من أجل الخشوع “Menutup kepala ketika shalat, tidak ada hadis sahih yang menganjurkannya. Hal itu hanyalah meninggalkan kebiasaan saja. Jika telah dikenal secara baik bahwa menutup kepala merupakan adab secara umum, maka hal itu dianjurkan dalam shalat sebagai konsekuensi hukum Al Urf tradisi terhadap apa-apa yang tidak memiliki dalil syara’. Jika tradisinya adalah selain itu, maka tidak mengapa membuka kepala. “Apa-apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka di sisi Allah itu juga baik.” Diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dari Ibnu Abbas Radhiallahu Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah membuka penutup kepalanya seperti surban dan menjadikannya sebagai sutrah pembatas di hadapannya, dan beliau shalat sehingga tidak ada seorang pun yang lewat di depannya. Menurut Hanafiyah, tidak apa-apa shalatnya laki-laki dengan kepala terbuka, mereka menganjurkannya jika itu membawa kekhusyu’an. Fatawa Al Azhar, 9/107. Syamilah Fatwa Para Ulama Kuwait Dalam Al Mausu’ah disebutkan sunahnya memakai penutup kepala لاَ خِلاَفَ بَيْنَ الْفُقَهَاءِ فِي اسْتِحْبَابِ سَتْرِ الرَّأْسِ فِي الصَّلاَةِ لِلرَّجُل ، بِعِمَامَةٍ وَمَا فِي مَعْنَاهَا ، لأَِنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ كَذَلِكَ يُصَلِّي “Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ahli fiqih tentang kesunahan menutup kepala ketika shalat bagi laki-laki baik dengan surban atau yang semakna dengan itu karena begitulah shalatnya Nabi Shallallahu “Alaihi wa Sallam. Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 22/5. Maktabah Misykah Sedangkan Imam Ibnu Taimiyah, mengisyaratkan bahwa membuka kepala ketika beribadah adalah makruh dan munkar. Hal ini ditegaskan dalam Fatawa Al Kubra-nya ketika beliau ditanya tentang manusia yang berkumpul lalu berzikir dan membaca Al Quran, dengan membuka kepala dan merendahkan diri, mereka membacanya bukan maksud riya atau sum’ah, demi untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, boleh atau tidak? Beliau menjawab الِاجْتِمَاعُ عَلَى الْقِرَاءَةِ وَالذِّكْرِ وَالدُّعَاءِ حَسَنٌ مُسْتَحَبٌّ إذْ لَمْ يُتَّخَذْ ذَلِكَ عَادَةً رَاتِبَةً ، كَالِاجْتِمَاعَاتِ الْمَشْرُوعَةِ ، وَلَا اقْتَرَنَ بِهِ بِدْعَةٌ مُنْكَرَةٌ . وَأَمَّا كَشْفُ الرَّأْسِ مَعَ ذَلِكَ فَمَكْرُوهٌ ، لَا سِيَّمَا إذَا اُتُّخِذَ عَلَى أَنَّهُ عِبَادَةٌ ، فَإِنَّهُ يَكُونُ حِينَئِذٍ مُنْكَرًا وَلَا يَجُوزُ التَّعَبُّدُ بِذَلِكَ . “Berkumpul untuk membaca, berzikir dan berdoa adalah perbuatan baik dan dianjurkan, jika hal itu tidak dijadikan kebiasaan yang rutin, itu sebagaimana perkumpulan yang disyariatkan, dan janganlah hal itu dicampur dengan bid’ah yang munkar. Ada pun membuka kepala saat itu adalah makruh, apalagi melakukannya ketika ibadah, maka saat itu hal tersebut adalah munkar dan tidak boleh beribadah seperti itu.” Fatawa Al Kubra, 1/6 Apa yang difatwakan Syaikhul Islam ini, jika yang dimaksudkan adalah membuka kepala ketika ibadah adalah ketika shalat, maka pemakruhannya masih bisa didiskusikan lagi. Bagaimana mungkin makruh, jika tak satu pun hadis sahih tentang keutamaan dan anjurannya? Bahkan Nabi sendiri pernah shalat tanpa menutup kepalanya, walau Beliau lebih sering menggunakannya. Begitu pula membuka kepala ketika membaca Alquran dan berzikir, tak ada pula riwayat yang menganjurkan tentang menutup kepala. Lebih tepat hal itu disebut sebagai adab yang baik dan mulia, paling tidak itu adalah sunnah. Wa Shallallahu Ala Nabiyyina Muhammadin wa Ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam. Wallahu A’lam.[ind]
munzir. Re:Hukum memakai peci bagi muslim - 2008/12/23 05:38 Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh, . Rahmat dan Kebahagiaan Nya semoga selalu menerangi hari hari anda, Saudaraku yg kumuliakan, banyak sekali hadits yg menjelaskan tentang sunnahnya peci/tutup kepala, dan memang itu kebiasaan Rasul saw dan para sahabat radhiyallahu'anumBolehkah shalat tanpa peci? Sebagian orang menghindar ketika imam tidak memakai peci. Alasannya gak sempurna. Apa benar? Jawab Bismillah was shalatu was salamu ala Rasulillah, wa ba’du, Ada 3 sikap berbeda yang diberikan masyarakat terkait peci. Dua berlebihan, dan satu pertengahan. Pertama, mewajibkan memakai peci dalam shalat. Bahkan dalam semua aktivitas harus memakai peci. Sehingga dia menganggap bahwa hanya dengan semata memakai peci, dia akan mendapatkan pahala. Mungkin anda pernah mendengar ada orang yang tidak mau shalat jadi makmum, jika imamnya tidak memakai peci. Karena dia menganggap, shalatnya imam tidak sempurna. Saya sendiri pernah mendengar, ada orang yang bercerita pengalaman mencari kerja. Salah satu yang dia sampaikan, di perusahaan A masih lumayan, dibebaskan memakai peci. Kalo di perusahaan lain, kurang bagus, tidak boleh memakai peci. Peci dianggap sesuatu yang sangat istimewa baginya. Sampai harus dibela, meskipun dalam urusan murni duniawi. Yang mengkhawatirkan, sebagian kelompok ini sampai menyampaikan hadis palsu untuk memotivasi masyarakat memakai peci. Diantaranya, Hadis, صَلَاةُ تَطَوُّعٍ أَوْ فَرِيضَةٍ بِعِمَامَةٍ تَعْدِلُ خَمْسًا وَعِشْرِينَ صَلَاةً بِلَا عِمَامَةٍ، وَجُمُعَةٌ بِعِمَامَةٍ تَعْدِلُ سَبْعِينَ جُمُعَةً بِلَا عِمَامَةٍ Shalat sunah atau shalat wajib yang memakai imamah penutup kepala senilai 25 kali shalat tanpa imamah. Jumatan dengan imamah senilai 70 kali jumatan tanpa imamah. HR. ad-Dailami dalam Musnad Firdaus 2/108, dan dinilai oleh al-Hafidz Ibnu Hajar sebagai hadis palsu. Kemudian hadis, الصَّلَاةُ فِي العِمَامَةِ تَعْدِلُ عَشَرَةَ آلَافِ حَسَنَةٍ Shalat dengan memakai imamah senilai pahala. HR. Abban bin Abi Ayyasy, dan dinilai palsu oleh as-Sakhawi al-Maqasid al-Hasanah 423 dan as-Syaukani dalam al-Fawaid al-Majmu’ah 188. Dan beberapa hadis lainnya yang semakna. Kedua, anti peci. Bagian dari modernisasi adalah tidak mengenakan tutup kepala dalam setiap kegiatan. Sampai ketika dia di acara-acara resmi, dia sama sekali tidak berkenan memakai tutup kepala. Ketiga, mereka yang menilai bahwa peci adalah perkara adat, masuk dalam tradisi, namun dia menjadi perhiasan mukmin. Untuk itu, mereka tidak mengkaitkan keabsahan shalat dengan keberadaan peci. Hanya saja, mengingat peci adalah perhiasan mukmin, maka memakai peci termasuk dalam anjuran yang disebutkan dalam ayat, يَا بَنِي آَدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap memasuki mesjid.” QS. al-A’raf 31 Karena itu, memakai peci dalam shalat maupun ketika acara resmi kaum muslimin, lebih afdhal dibandingkan tanpa mengenakan peci. Meskipun ini tidak ada kaitannya dengan keabsahan shalat. Dr. Muhammad Ali Farkus ketika membahas masalah peci mengatakan, ولا يخفى أنَّ الأفضلية لا تُنافي جوازَ صلاةِ الإمام أو المنفرد أو المأموم حاسِرَ الرأسِ بدون تغطيةٍ له؛ لأنَّ عمومَ الجواز لا يَلْزَمُ منه التسويةُ أوَّلًا، ولأنَّ العِمامة أو ما شاكَلَها داخلةٌ في سُنن العادة لا في سُنن العبادة ثانيًا، ولأنَّ الرأس ليس بعورةٍ حتَّى يجب سَتْرُه ثالثًا؛ Sisi kelebihan peci tidaklah menunjukkan larangan shalat dengan terbuka kepalanya tanpa penutup, baik sebagai imam, atau sendirian, atau sebagai makmum. Karena, [1] Hukum boleh, tidak menunjukkan bahwa itu harus sama nilai [2] Imamah atau peci atau tutup kepala lainnya, masuk dalam aturan adat, dan bukan aturan ibadah [3] Bagi lelaki Kepala bukan termasuk aurat yang harus ditutupi. Sumber Allahu a’lam Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits Dewan Pembina Anda bisa membaca artikel ini melalui aplikasi Tanya Ustadz untuk Android. Download Sekarang !! didukung oleh Zahir Accounting Software Akuntansi Terbaik di Indonesia. Dukung Yufid dengan menjadi SPONSOR dan DONATUR. SPONSOR hubungi 081 326 333 328 DONASI hubungi 087 882 888 727 REKENING DONASI BNI SYARIAH 0381346658 / BANK SYARIAH MANDIRI 7086882242 YAYASAN YUFID NETWORK 🔍 Tasyakuran Walimatul Khitan, Arti Mimpi Setelah Subuh, Masya Allah Atau Subhanallah, Doa Untuk Kedua Orang Tua Yang Sudah Meninggal, Hukum Selfie Menjulurkan Lidah, Keutamaan Umrah KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO CARA SHOLAT, ATAU HUBUNGI +62813 26 3333 28
HukumMemakai Peci saat Shalat Kepala sebenarnya bukan aurat baik saat shalat maupun di luar shalat, jadi tak masalah mau ditutup atau tidak.Pertanyaan Sudah banyak kita ketahui biasanya kaum Muslimin terutama kaum pria jika mereka melakukan ibadah Shalat memakai penutup kepala kopiah, peci, songkok, sorban dll. Apakah hal itu termasuk sunnah yang perlu dijaga atau hanya sekedar adat kebiasaan? Jika itu sunnah adakah hadits yang menganjurkan hal tersebut? Jawaban Alhamdulillah, shalawat Dan salam semoga selalu terlimpah kepada Rasulullah saw beserta keluarga Dan seluruh sahabatnya. Tidak dapat dipungkiri, bahwa memakai kopiah ketika shalat merupakan kebiasaan yang telah umum di kalangan muslimin di seluruh penjuru negeri. Bahkan, seseorang bisa merasa ada yang kurang bila dia shalat sedangkan kepalanya dalam kondisi terbuka. Kopiah atau juga yang disebut songkok/peci adalah salah satu jenis pakaian yang dikenakan di kepala. Sehingga memakai peci masuk dalam pembahasan hukum berpakaian. Sedangkan secara umum pakaian ada beberapa kategori Wajib, yaitu pakaian yang digunakan untuk menutupi aurat. Yaitu dari pusat hingga lutut bagi kaum laki-laki, seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan bagi kaum wanita. Sunnah, yaitu berpakaian dengan model pakaian Rasulullah Saw dan yang dicintai olehnya, misalnya adalah pakaian gamis, warna putih, mengenakan pakaian bersih dan rapi, berhias dll. Mubah, yakni pakaian yang umumnya dikenakan mengikuti sesuai peradaban dan kebudayaan manusia. Haram, yakni pakaian yang menyerupai pakaian orang-orang kafir dan menjadi simbol agama mereka, semisal pakaian biksu, pendeta atau pastur. Para Ulama berbeda pendapat tentang hukum memakai penutup kepala peci dalam shalat. Antara yang berpendapat sunnah dengan yang menganggapnya hanya sebagai perkara mubah. Namun meskipun demikian, mereka bersepakat bahwa memakai peci bukanlah perkara wajib, sebab kepala bukanlah aurat yang wajib ditutup bagi laki-laki ketika Shalat. Sebaliknya, kopiah juga tidak mungkin dihukumi haram untuk dipakai, karena ia bukanlah pakaian yang menjadi ciri khas atau identitas orang-orang kafir. Akan tetapi penutup kepala peci telah menjadi adat kebiasaan urf kaum muslimin yang telah dikenal dan dipraktekkan sejak dahulu hingga sekarang. Adapun terkait apakah ada hadits yang menganjurkan memakai penutup kepala saat Shalat, maka tidak ada hadits shahih yang menganjurkan hal tersebut, sebagaimana perkataan Sayid Sabiq dalam fiqih sunnah “Tidak ada dalil tentang keutamaan menutup kepala ketika shalat.” Fiqhus Sunnah, 1/128. Kendati demikian, memakai penutup kepala ketika Shalat itu lebih baik, lebih sempurna dan kelihatan bersahaja. Sedangkan kita ketahui bersama, bahwa memakai penutup kepala peci adalah kebiasaan generasi salafush shalih, dan juga adalah adat kebiasaan kaum muslimin hampir di seluruh negeri dan wilayah kaum muslimin ketika shalat. Minimal orang yang mengenakan penutup kepala adalah orang yang ingin ber-tasyabuh meniru gaya generasi salaf dan juga meniru kebiasaan kaum muslimin pada umumnya. Sedangkan Rasulullah Saw bersabda “Barangsiapa meniru-niru suatu kaum maka ia termasuk ke dalam golongan mereka.” HR Abu Dawud. Dan juga atsar dari Ibnu Mas’ud beliau berkata فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَناً فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئاً فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ “Maka apa yang dipandang oleh kaum muslimin sebagai kebaikan maka di sisi Allah sebagai sebuah kebaikan. Dan apa yang dipandang oleh kaum muslimin sebagai kejelekan maka ia di sisi Allah adalah sebagai sebuah kejelekan”. HR. Ahmad, Al-Hakim. Sedangkan menyelisihi kebiasaan kaum muslimin yang baik hukumnya makruh, sebagaimana perkataan Imam Ibnu Taimiyah “Adapun membuka kepala adalah makruh, apalagi melakukannya ketika ibadah, hal tersebut adalah munkar dan tidak boleh beribadah seperti itu.” Fatawa Al Kubra, 1/6. Hendaknya setiap muslim yang akan shalat untuk berhias, mengenakan pakaian yang indah dan terhormat, karena itu adalah perintah dari Allah ta’ala, sebagaimana firmannya يَا بَنِي آَدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap memasuki mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” Al-A’raf 31. Wallahu a’lam bishshawab. Oleh Dewan Konsultasi Syari’iah Darusy Syahadah Makahukum wanita shalat hari raya di luar bisa diringkas sebagai berikut: *- Sunnah* : Bagi wanita lanjut usia yang memakai pakaian biasa tanpa menggunakan hiasan dan parfum. *- Makruh* : Bagi Wanita lanjut usia yang berhias dengan pakaian bercorak dan memakai parfum. Makruh juga bagi wanita muda walaupun tanpa berhias jika aman dari fitnah ADA tiga sikap berbeda yang diberikan masyarakat terkait peci. Dua berlebihan, dan satu pertengahan. 1 Mewajibkan memakai peci dalam shalat Bahkan dalam semua aktivitas harus memakai peci. Sehingga dia menganggap bahwa hanya dengan semata memakai peci, dia akan mendapatkan pahala. Yang mengkhawatirkan, sebagian kelompok ini sampai menyampaikan hadis palsu untuk memotivasi masyarakat memakai peci. Diantaranya, Hadis, صَلَاةُ تَطَوُّعٍ أَوْ فَرِيضَةٍ بِعِمَامَةٍ تَعْدِلُ خَمْسًا وَعِشْرِينَ صَلَاةً بِلَا عِمَامَةٍ، وَجُمُعَةٌ بِعِمَامَةٍ تَعْدِلُ سَبْعِينَ جُمُعَةً بِلَا عِمَامَةٍ Shalat sunah atau shalat wajib yang memakai imamah penutup kepala senilai 25 kali shalat tanpa imamah. Jumatan dengan imamah senilai 70 kali jumatan tanpa imamah. HR. ad-Dailami dalam Musnad Firdaus 2/108, dan dinilai oleh al-Hafidz Ibnu Hajar sebagai hadis dhaif . Kemudian hadis, الصَّلَاةُ فِي العِمَامَةِ تَعْدِلُ عَشَرَةَ آلَافِ حَسَنَةٍ Shalat dengan memakai imamah senilai pahala. HR. Abban bin Abi Ayyasy, dan dinilai dhaif oleh as-Sakhawi al-Maqasid al-Hasanah 423 dan as-Syaukani dalam al-Fawaid al-Majmu’ah 188. Dan beberapa hadis lainnya yang semakna. 2 Anti peci Bagian dari modernisasi adalah tidak mengenakan tutup kepala dalam setiap kegiatan. Sampai ketika dia di acara-acara resmi, dia sama sekali tidak berkenan memakai tutup kepala. 3 Peci adalah urusan adat atau tradisi mereka yang menilai bahwa peci adalah perkara adat, masuk dalam tradisi, namun dia menjadi perhiasan mukmin. Untuk itu, mereka tidak mengkaitkan keabsahan shalat dengan keberadaan peci. Hanya saja, mengingat peci adalah perhiasan mukmin, maka memakai peci termasuk dalam anjuran yang disebutkan dalam ayat, يَا بَنِي آَدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap memasuki mesjid.” QS. al-A’raf 31 Karena itu, memakai peci dalam shalat maupun ketika acara resmi kaum muslimin, lebih afdhal dibandingkan tanpa mengenakan peci. Meskipun ini tidak ada kaitannya dengan keabsahan shalat. Dr. Muhammad Ali Farkus ketika membahas masalah peci mengatakan, ولا يخفى أنَّ الأفضلية لا تُنافي جوازَ صلاةِ الإمام أو المنفرد أو المأموم حاسِرَ الرأسِ بدون تغطيةٍ له؛ لأنَّ عمومَ الجواز لا يَلْزَمُ منه التسويةُ أوَّلًا، ولأنَّ العِمامة أو ما شاكَلَها داخلةٌ في سُنن العادة لا في سُنن العبادة ثانيًا، ولأنَّ الرأس ليس بعورةٍ حتَّى يجب سَتْرُه ثالثًا؛ Sisi kelebihan peci tidaklah menunjukkan larangan shalat dengan terbuka kepalanya tanpa penutup, baik sebagai imam, atau sendirian, atau sebagai makmum. Karena, [1] Hukum boleh, tidak menunjukkan bahwa itu harus sama nilai [2] Imamah atau peci atau tutup kepala lainnya, masuk dalam aturan adat, dan bukan aturan ibadah [3] Bagi lelaki Kepala bukan termasuk aurat yang harus ditutupi.[] SumberKonsultasiSyariah 08nPt.